Jika Pilkada dikembalikan lewat Parlemen, ini berarti pemilihan kepala daerah dilakukan tanpa uluk salam pada rakyat. Rakyat dilewat begitu saja, sonder permisi, pun sekadar joged-joged di panggung kampanye. Parlemen jadi tempat beruluk kabar siapa calon pemimpin kepala daerah. Bagaimana, dan mengapa, calon pemimpin itu harus dinegosiasikan.
Baguskah? Belum tentu.
Masalah utama yang teramat penting dihadapi ialah akuntabilitas. Rakyat yang tidak bisa langsung diajak memilih alias Hak memilih raykyat hilang, jadi berang karena tidak diberi ruang yang terang benderang. Banyak orang kasak-kusuk soal calon pemimpin akan tetapi hanya terjadi di ruang-ruang hampa politik. Obrolannya hanya terjadi di kamar-kamar yang “setengah politik”, seperti di tempat-tempat yang hanya ditentukan oleh orang-orang parlemen dan kawan-kawannya. Kerap bukan orang-orang yang berstatus rakyat yang sebenar-benarnya.
Ini masalah. Kenapa? Sebab urusan politik itu menyangkut rakyat. Bukan hanya kepentingan orang-orang berkuasa di partai politik, organisasi massa, dan kelompok-kelompok politik lainnya. Kepentingan rakyat yang “sebenar-benarnya” banyak ditinggalkan, dianggap sudah cincai bila sudah di-“nego” oleh orang-orang “berkuasa”.
Maka itulah, akuntabilitas jadi soal yang teramat penting. Segala urusan rakyat harus dibikin terang-benderang. Seluruh rakyat di segala penjuru Indonesia harus tahu apa yang tengah diurus orang-orang berkuasa. Rakyat harus paham bahwa nasib mereka tengah diurus dengan sebaik-baiknya. Bukan setengah baik. Apalagi, sekadar jadi merek pertemuan orang-orang berkuasa di ruang-ruang politik parlemen.
Sebab, urusan terang-benderangnya rakyat ini akan berakibat pada kemeriahan pesta pemilu. Ketidaktransparanan politik orang-orang berkuasa membuat rakyat jadi julit. Berburuk sangka. Rakyat merasa ditinggalkan.
Ketika banyak orang berkuasa ribut di sana sini, entah antarkelompok, entah antarorang sendiri, rakyat pun merasa tersingkir. Rakyat pun bisa meradang. Rakyat merasa dibohongi, tak tahu mana emas mana loyang. Rakyat akhirnya masa bodoh. Tak perduli apa yang terjadi, apa yang akan diperbuat orang berkuasa.
Pada titik ini, politik kebangsaan berada di titik nadir. Pemilu kepala daerah jadi barang rongsokan. Tak lagi berfungsi: untuk mengembangkan perikehidupan kebangsaan. Untuk mendidik bangsa lebih beradab, mengurus bangsa dan negaranya. Turut berperan aktif di kancah kebangsaan.
Pemilu kepala daerah (pilkada) tak diminati. Rakyat enggan pergi ke tempat pemungutan suara. Suaranya ditinggalkan orang berkuasa.
Kehidupan demokrasi Indonesia kembali masuk kandang. Bila di jaman Orde Baru, rakyat pilih jalan “mengambang”, tak mau mencoblos pilihan politiknya secara terbuka, dan membiarkan mesin politik pemerintahan mengatur kepemimpinan daerah tempat tinggalnya. Kini, bisa-bisa rakyat juga ambil gaya “mengambang” karena tak akur dengan mesin politik pilkada buatan “parlemen”.
Agenda Pilkada dinilai jadi sepersis jadwal korupsi dan nepotisme. Karena dibikin dari adonan orang berkuasa. Orang-orang yang mengatur “ini-itu” daerah, “siapa ini siapa itu” kepala daerah, “bagaimana ini dan itu” kepemimpinan daerah, “mengapa harus begini dan begitu” calon kepala daerah.
Apa tidak berlebihan menilai? Bisa tidak, jawabnya. Karena ini menyangkut pengalaman demi pengalaman Indonesia melakukan pemilu. Meliputi bagaimana dahulu Indonesia menentukan kepala daerah lewat mesin yang tidak dihidupan rakyat secara langsung. Dimana aktifitas diam-diam politik pilkada berlangsung, menegosiasikan politik dagang sapi, serta digandrungi oknum pemerintah di meja birokrasi dan anggaran proyek ini dan itu.
Dari sekian keadaan seperti itulah, dahulu, diputuskan pilkada langsung dicoblos rakyat. Menyuruh rakyat keluar rumah menuju TPS (tempat pemungutan suara).
Akan halnya, kemarin, banyak rakyat pilih ngarengkol di kamar ketimbang pergi ke TPS, ini urusan lain. Urusan menyangkut belum ramahnya politik pilkada diminati rakyat. Belum menyentuhnya para calon mengajak rakyat terlibat. Belum berbahagianya rakyat melihat masa depan daerahnya seusai pilkada. Dan, berbagai “belum” lainnya, yang mesti diperbaiki.
Tapi, sekali lagi, itu urusan yang harus diurai secara seksama. Tidak bisa buru-buru. Namun, hendaknya, menjadi catatan “kaki dan pinggir” bagi upaya menimbang-timbang untuk mengambil keputusan pilkada dijalanakan lagi oleh mesin parlemen.
Siapa tahu.*
Penulis
Prof.Dr.Septiawan Santana K, S.Sos, M.Si, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba